panen jeruk

panen jeruk
panen jeruk Sambas di lahan Petani

Thursday, February 14, 2013

Ancaman Guremisasi & Konversi Lahan Pertanian


Proses produksi pangan sangat erat kaitannya dengan budidaya pertanian khususnya pada tanaman pangan. Budidaya pertanian sendiri saat ini masih mengandalkan tanah atau lahan sebagai media utama untuk menumbuhkan tanaman. Meskipun saat ini banyak penelitian yang mencoba untuk mencari media alternatif pengganti tanah, namun peran tanah sebagai media tumbuh tanaman masih belum tergantikan.
Melihat pentingnya peran tanah sebagai media tumbuh tanaman tentu saja ketersediaanya harus terjamin dan cukup guna mendukung produksi tanaman pangan bagi masyarakat. Ketersediaan lahan pertanian saat ini telah menjadi tantangan yang berat bagi negara agraris seperti di Indonesia saat ini.  Tantangan tersebut muncul karena indikasi berkurangnya lahan pertanian karena “ ancaman Guremisasi dan Konversi Lahan”. Guremisasi merupakan suatu proses fragmentasi atau pemecahan luas lahan pertanian sebagai akibat pembagian warisan. Kejadian ini sangat terkait dengan kultur sosial masyarakat Indonesia umumnya dimana orang tua membagi-bagi lahan pertanian kepada anak-anaknya sebagai aset warisan. Semakin banyak anak yang mendapat warisan otomatis lahan pertanian semakin kecil.  Lahan pertanian yang terfragmentasi tentu saja luas garapannya akan menurun yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah produksi pangan.
Ancaman Guremisasi semakin diperparah jika lahan yang diwariskan tersebut beralih fungsi untuk kegiatan di luar pertanian. Saat ini gejala penurunan luas lahan pertanian terus terjadi. Setidaknya sekitar 100 ribu hektar lahan pertanian produktif hilang karena beralih fungsi untuk kegiatan lain seperti bangunan, pertokoan, perumahan, industri, perkebunan dan lain sebagainya. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi Indonesia yang notabene adalah negara agraris. Adalah sangat ironis sekali jika sebuah negara agraris namun tidak cukup memiliki tanah atau lahan untuk bercocok tanam komoditas tanaman pangan. Untuk mengganti lahan pertanian produktif yang sudah beralih fungsi, pemerintah setiap tahunnya melakukan perluasan areal baru melalu program cetak sawah, namun jumlahnya masih lebih kecil dari 100 ribu hektar /tahun karena anggaran terbatas. Jika hanya mengandalkan pemerintah untuk penyediaan lahan pertanian maka otomatis lahan pertanian tanaman akan tetap berkurang.
Menteri Pertanian RI, Dr. Siswono pada saat membuka  Rapat Kerja Koordinasi APINDO sempat menyatakan bahwa sangat tidak logis jika berharap produksi pangan nasional tinggi dan kemakmuran petani meningkat namun dengan kondisi lahan pertanian yang dimiliki petani kecil-kecil. Luas lahan pertanian yang setiap tahunnya terus berkurang menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Jika hanya mengandalkan petani dengan kondisi lahan yang kecil-kecil untuk memproduksi pangan maka diperkirakan  dalam 5 tahun mendatang Indonesia akan mengalami krisis pangan. Untuk itu swasta perlu turun tangan dalam budidaya pertanian tanaman pangan terutama untuk skala-skala besar seperti Food estate atau sawah modern berskala besar lainnya.
Sistem Agraria Indonesia yang memperbolehkan lahan atau tanah sebagai hak milik pribadi menyebabkan negara sulit mengatur penggunaan lahan. Berbagai kebijakan dan peraturan sudah dikeluarkan oleh pemerintah, diantaranya melalui Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Undang-Undang. RTRW merupakan produk hukum syah yang sepatutnya menjadi acuan Pemerintah dalam mengelola penggunaan dan peruntukan ruang dan wilayah termasuk tanah, air, dan materi yang dikandung di dalam tanahnya. Di dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) telah diatur peruntukkan pola ruang dan struktur ruang yang ada namun kenyataan dilapangan sangat sering terjadi konversi atau alih fungsi peruntukkan. Kawasan Budidaya untuk pertanian dalam RTRW yang diharapkan dapat menjadi “tempat perlindungan” bagi aktivitas budidaya tanaman pangan sering berbeda kenyataannya di lapangan. Perlu pengawasan serta ketegasan dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam hal menjaga fungsi RTRW yang telah ditetapkan agar RTRW yang disusun dengan susah payah dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah juga sudah mengeluarkan UU No. 41 tahun 2010 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut Peraturan Pemerintah Turunannya. Dalam UU No. 41 tersebut diamanahkan agar setiap daerah (Kabupaten/Kota) harus menyediakan lahan pertanian tanaman pangan  plus lahan cadangan untuk budidaya tanaman pangan. Namun sekali lagi implementasi di lapangan masih belum optimal bahkan mungkin masih minimal. Memang UU No. 41 masih berumur muda, namun daerah yang bijak pasti akan menerapkan UU No. 41 karena di dalamnya telah diatur hak dan kewajiban Pemerintah dan Masyarakat yang semuanya mengarah untuk kemakmuran dan menjamin ketersediaan lahan bagi pertanian tanaman pangan.
Pada akhirnya memang dituntut pemahaman dan kesadaran dari seluruh masyarakat bahwa lahan pertanian tanaman pangan merupakan aset yang terbatas jumlahnya. Ketersediaannya sangat penting dalam menentukan cukup tidaknya produksi pangan bagi penduduk yang terus bertambah. Pemerintah dan masyarakat terutama petani harus bisa  melindungi lahan pertanian tanaman pangan agar tidak berkurang karena guremisasi dan alih fungsi lahan. Jika dalam pengelolaannya kita salah, maka kemungkinan ancaman krisis pangan  sudah menanti di depan mata.***  hero