Proses produksi pangan sangat
erat kaitannya dengan budidaya pertanian khususnya pada tanaman pangan.
Budidaya pertanian sendiri saat ini masih mengandalkan tanah atau lahan sebagai
media utama untuk menumbuhkan tanaman. Meskipun saat ini banyak penelitian yang
mencoba untuk mencari media alternatif pengganti tanah, namun peran tanah
sebagai media tumbuh tanaman masih belum tergantikan.
Melihat pentingnya peran tanah
sebagai media tumbuh tanaman tentu saja ketersediaanya harus terjamin dan cukup
guna mendukung produksi tanaman pangan bagi masyarakat. Ketersediaan lahan
pertanian saat ini telah menjadi tantangan yang berat bagi negara agraris
seperti di Indonesia saat ini. Tantangan
tersebut muncul karena indikasi berkurangnya lahan pertanian karena “ ancaman Guremisasi
dan Konversi Lahan”. Guremisasi merupakan suatu proses fragmentasi atau
pemecahan luas lahan pertanian sebagai akibat pembagian warisan. Kejadian ini
sangat terkait dengan kultur sosial masyarakat Indonesia umumnya dimana orang
tua membagi-bagi lahan pertanian kepada anak-anaknya sebagai aset warisan.
Semakin banyak anak yang mendapat warisan otomatis lahan pertanian semakin
kecil. Lahan pertanian yang
terfragmentasi tentu saja luas garapannya akan menurun yang pada akhirnya akan
menurunkan jumlah produksi pangan.
Ancaman Guremisasi semakin
diperparah jika lahan yang diwariskan tersebut beralih fungsi untuk kegiatan di
luar pertanian. Saat ini gejala penurunan luas lahan pertanian terus terjadi.
Setidaknya sekitar 100 ribu hektar lahan pertanian produktif hilang karena
beralih fungsi untuk kegiatan lain seperti bangunan, pertokoan, perumahan,
industri, perkebunan dan lain sebagainya. Kondisi ini tentu saja sangat
memprihatinkan bagi Indonesia yang notabene adalah negara agraris. Adalah
sangat ironis sekali jika sebuah negara agraris namun tidak cukup memiliki
tanah atau lahan untuk bercocok tanam komoditas tanaman pangan. Untuk mengganti
lahan pertanian produktif yang sudah beralih fungsi, pemerintah setiap tahunnya
melakukan perluasan areal baru melalu program cetak sawah, namun jumlahnya
masih lebih kecil dari 100 ribu hektar /tahun karena anggaran terbatas. Jika
hanya mengandalkan pemerintah untuk penyediaan lahan pertanian maka otomatis
lahan pertanian tanaman akan tetap berkurang.
Menteri Pertanian RI, Dr.
Siswono pada saat membuka Rapat Kerja
Koordinasi APINDO sempat menyatakan bahwa sangat tidak logis jika berharap
produksi pangan nasional tinggi dan kemakmuran petani meningkat namun dengan
kondisi lahan pertanian yang dimiliki petani kecil-kecil. Luas lahan pertanian
yang setiap tahunnya terus berkurang menjadi ancaman serius bagi ketahanan
pangan nasional. Jika hanya mengandalkan petani dengan kondisi lahan yang
kecil-kecil untuk memproduksi pangan maka diperkirakan dalam 5 tahun mendatang Indonesia akan
mengalami krisis pangan. Untuk itu swasta perlu turun tangan dalam budidaya
pertanian tanaman pangan terutama untuk skala-skala besar seperti Food estate
atau sawah modern berskala besar lainnya.
Sistem Agraria Indonesia yang
memperbolehkan lahan atau tanah sebagai hak milik pribadi menyebabkan negara
sulit mengatur penggunaan lahan. Berbagai kebijakan dan peraturan sudah
dikeluarkan oleh pemerintah, diantaranya melalui Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) dan Undang-Undang. RTRW merupakan produk hukum syah yang sepatutnya
menjadi acuan Pemerintah dalam mengelola penggunaan dan peruntukan ruang dan
wilayah termasuk tanah, air, dan materi yang dikandung di dalam tanahnya. Di
dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) telah diatur peruntukkan pola ruang
dan struktur ruang yang ada namun kenyataan dilapangan sangat sering terjadi
konversi atau alih fungsi peruntukkan. Kawasan Budidaya untuk pertanian dalam
RTRW yang diharapkan dapat menjadi “tempat perlindungan” bagi aktivitas
budidaya tanaman pangan sering berbeda kenyataannya di lapangan. Perlu pengawasan
serta ketegasan dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam hal
menjaga fungsi RTRW yang telah ditetapkan agar RTRW yang disusun dengan susah
payah dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah juga sudah
mengeluarkan UU No. 41 tahun 2010 tentang perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan berikut Peraturan Pemerintah Turunannya. Dalam UU No. 41 tersebut
diamanahkan agar setiap daerah (Kabupaten/Kota) harus menyediakan lahan
pertanian tanaman pangan plus lahan
cadangan untuk budidaya tanaman pangan. Namun sekali lagi implementasi di
lapangan masih belum optimal bahkan mungkin masih minimal. Memang UU No. 41
masih berumur muda, namun daerah yang bijak pasti akan menerapkan UU No. 41
karena di dalamnya telah diatur hak dan kewajiban Pemerintah dan Masyarakat
yang semuanya mengarah untuk kemakmuran dan menjamin ketersediaan lahan bagi
pertanian tanaman pangan.
Pada akhirnya memang dituntut
pemahaman dan kesadaran dari seluruh masyarakat bahwa lahan pertanian tanaman
pangan merupakan aset yang terbatas jumlahnya. Ketersediaannya sangat penting
dalam menentukan cukup tidaknya produksi pangan bagi penduduk yang terus
bertambah. Pemerintah dan masyarakat terutama petani harus bisa melindungi lahan pertanian tanaman pangan agar
tidak berkurang karena guremisasi dan alih fungsi lahan. Jika dalam
pengelolaannya kita salah, maka kemungkinan ancaman krisis pangan sudah menanti di depan mata.*** hero